Mereka Bilang, “Buat Apa Beragama”

Senin, 13 April 2009 komentar

Ada yang bilang, “buat apa beragama, toh mereka yang beragama tetap gitu-gitu juga”.

Kita tidak bisa berpikir demikian. Menganggap agama tidaklah berguna, karena melihat pemeluknya berbuat keliru. Apakah jika kita menyiram tanaman dengan air tapi tanaman itu tetap tidak tumbuh, lalu kita beranggapan bahwa air tidak berguna bagi tanaman? Lalu jika tanaman kita layu dan mati, kita mengatakan bahwa air membahayakan tanaman? Tentu tidak bukan?

Pertama kita harus mempelajari seluk beluk tanaman kita, apa yang membuatnya tidak tumbuh semestinya, kenapa layu, dsb. Lalu kita juga harus mengkaji secara mendalam air yang kita pakai untuk menyiram. Adakah sesuatu yang salah dengan air itu.
Kita tidak akan bisa menilai air dengan benar hanya dengan cerita orang, “Aku selalu menyiram tanamanku, tapi tetap tidak tumbuh dan kemarin justru layu”.


::.gambar dari sini

Bulan Purnama

komentar

Bulan purnama sangatlah indah bukan? Memancarkan cahaya lembut, menerangi namun tidak membuatmu kepanasan, bisa kau pandangi dengan tersenyum dan tidak akan menyilaukanmu.

Bulan sesungguhnya memantulkan kembali sinar yang diterimanya dari matahari. Tapi demikianlah bulan yang kau sukai, ia selalu hanya memberimu cahaya lembut. Tak perduli seberapa panas sinar matahari yang ia terima, bulan selalu hanya memberikan cahaya lembut untukmu. Sehingga kau bisa merasa sejuk dengan mengaguminya.

Mungkin begitu juga degan kita, meski kehidupan keras menimpa kita, jika kita hanya memantulkan kembali kelembutan ke sekitar kita. Maka kita akan menjadi seindah bulan.


::.gambar dari sini

Tawa dan Tangis

komentar

“Tawa paling indah adalah menertawakan kemalangan diri sendiri, karena membuat kita lebih bijaksana. Tangis paling indah adalah menangisi kemalangan orang lain, karena membuat kita lebih bersyukur”.

"gambar di atas adalah foto Qian Hong Yan, gadis kecil yang mengalami kecelakaan dan kehilangan kedua kakinya bahkan pinggulnya. Orang tuanya yang miskin tidak mampu membeli kaki palsu, maka ia menggunakan bola basket untuk memudahkan gerakannya.
Dan untuk berjalan, Qian menggunakan dua sangga kayu untuk menyeret tubuhnya namun demikian dia tetap tersenyum dan tidak mengeluh".

::.gambar dan berita lengkap disini

Jejak Kaki Diriku dan Tuhanku

Rabu, 08 April 2009 komentar

Oleh:Dimas
saya copy untuk teman-teman pengunjung blogku

Suatu malam seorang pemuda bermimpi. Dia bermimpi berjalan bersama Tuhan di sepanjang pantai. Ketika memandang ke langit, pemuda tersebut melihat tampilan perjalanan hidupnya. Setiap tampilan ia melihat ada dua pasang jejak kaki di pasir: satu adalah jejaknya, dan jejak lainnya adalah jejak Tuhan.

Ketika saat-saat terakhir kehidupannya tampil di hadapannya, dia melihat kembali jejak kaki yang ada di pasir. Dia menyadari bahwa beberapa bagiaan waktu dalam hidupnya hanya terdapat satu pasang jejak kaki. Dia juga menyadari bahwa hal itu terjadi ketika saat-saat paling buruk dan bermasalah dalam hidupnya.

Hal ini menggangu pikirannya dan ia bertanya kepada Tuhan tentang hal tersebut:

“Tuhan, Engkau mengatakan bahwa ketika aku memutuskan untuk mengikutimu, Kau selalu berjalan bersamaku sepanjang waktu. Tetapi aku menyadari bahwa selama masa dimana hidupku penuh dengan masalah dan penderitaan, di sana hanya terdapat satu jejak kaki. Aku tidak mengerti kenapa ketika saat-saat dimana aku membutuhkan Mu Engkau malah meninggalkanku.”

Tuhan menjawab: “Anakku yang aku sayangi, Aku mencintaimu dan Aku tidak pernah meninggalkanmu. Selama masa ujian dan penderitaan, ketika kau hanya melihat sepasang jejak kaki, saat itu Aku memikulmu.”

Gambar dari sini

Nabi dan Pengemis Buta

komentar: 1

Catatan: Tulisan ini saya copy dari blog mas Dimas

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi buta, yang tiap hari apabila ada orang yang mendekatinya , ia selalu berkata “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”. Tetapi setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga Beliau wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, “anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah r.ha menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnahpun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah itu?”, tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.

Keesokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “siapakah kamu ?”Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa”. “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa menyuapiku!”, jawab si pengemis buta itu. “Apabila orang yang sering menyuapiku datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu ia menghaluskan makanannya sehingga aku tidak susah mengunyahnya”, kata pengemis buta itu.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a., ia begitu terharu hingga meneteskan air mata, kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghina dan memfitnahnya, namun ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, sungguh ia begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta itu pun akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

***

Ya Nabi, sungguh Engkaulah teladan yang sempurna.

Yaa Nabi sallam alaika
Yaa Rasul sallam alaika
Yaa Habib salam alaika
Sholawatullah alaika

*********

Kisah di atas diambil dari almihrab.com
Gambar dari sini

Marah

komentar

“Siapapun bisa marah – marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik – bukanlah hal mudah.”

::.Aristoteles, The Nicomachean Ethics

gambar dari sini

Menghadapai Ketakutan

Selasa, 07 April 2009 komentar



“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.”

::. Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.

foto dari sini

Jalan Menuju Kesejatian

komentar


diambil dari blog mas Dimas

“Aku akan berjalan ribuan kilometer bersama kepalsuan, sampai aku bisa menemukan satu langkah yang benar dan sejati.”

- Sheikh Abul Qasim Al-Junaid


:: Sheikh Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi adalah seorang sheikh sufi pada abad ke delapan.

foto Ari Trismana

Puisi 4

Rabu, 01 April 2009 komentar

Oh maulana telah melesatkan anak panah
dan menancap ke dadaku,
lalu pergi begitu saja tanpa obat atau tabib mengobati

Menangis, aku menangis. Sakit
kau bangunkan aku dari tidurku
namun kau tak lepaskan jerat di kaki dan tanganku
bagaimana aku bisa bangun dan menatap cinta
jika engkau tak mengulurkan tangan membantuku berdiri

lelah, aku lelah dengan tidurku
maka bebaskanlah aku ke alam luas
biar aku berlari dan tersenyum menjemput cinta
seperti dirimu

pesakitan ini telah rindu akan cinta
namun hanya mendapat bayangbayang fana
maka bebaskanlah aku, bebaskanlah aku
oh Maulana, oh Musthafa, oh Dia

Saif, 221207

gambar dari sini

Puisi 3

komentar: 1


aku terperangkap dalam jasad
masih teriak dan sekarat
adakah pengembara suci
kan datang membuka kunci

aku masih menunggu
semakin sakit dan tergugu
menerawang pandang melintas terali
mengharap kunjungan pada rohani

aku teriak
“oh siapa mau memapah kesadaranku”
bangunkan aku
agar tak tertipu bayangan gelap

sayf,12zulhijjah1428

gambar dari sini

Puisi 2

komentar

Wahai Penguasa
mimpi ini adalah milikmu, sadarpun adalah milikmu
maka apa yang bisa kuharapkan dari ketaksadaranku
kecuali berharap Engkau yang memiliki ketaksadaran menyadarkanku

Wahai Empu Cinta
yang memilikan cinta pada kesadaran
sadarkan aku untuk menangkap cinta
agar aku mabuk cinta kepayang

Wahai Engkau kekasih para suci
melapangkan tangan menyambut hati
tapi hati ini masih tinggal dalam mimpi
hanya melirik tak langkahkan kaki

Sayf,10 dzulhijjah 1428

gambar dari sini

Puisi 1

komentar


Oh alangkah mabuknya tidurku
membawaku berlari mengejar mimpi
meninggalkan banyak keindahan, terlewatkan
hingga seorang pengembara datang dalam mimpiku
mengabarkan keindahan sejati

“karena itu bangunlah” katanya
akupun sadar bahwa aku tidur
namun tak hendak membuka mataku
dan tak ada yag membangunkan aku

maka wahai para suci
dimana dirimu biar kugapai dalam mimpi
karena bahkan hanya dengan memimpikanmu
telah cukup membuat banyak pemimpi terbangun
membuat mereka mabuk kesadaran

saif,10 dzulhijjah 1428

gambar dari sini

Mengenal Diri, Mengenal Tuhan

komentar
Catatan: tulisan ini saya ambil secara tidak beradab dari blognya mas Watung



Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Konon itu kata-kata Baginda Rasulullah SAW. Tapi seberapa susahnya sebenarnya mengenal diri itu? Sebegitu pentingnya kah hal itu sehingga bisa mengantarkan seseorang pada suatu pengenalan yang sungguh agung, sesuatu yang dicita-citakan oleh siapa saja yang percaya, pengenalan akan Tuhan? Bukankah yang disebut “saya” ini ya saya, ya yang ini? Tidakkah kita semua tahu dan kenal diri kita sendiri?

Not so fast, fella. Mari kita resapi kisah berikut ini.

* * *

Dalam keadaan sakratul maut, seseorang tiba-tiba merasa berada di depan sebuah gerbang. “Tok, tok, tok,” pintu diketuk. “Siapa di situ?” ada suara dari dalam. Lalu kuseru saja, “Saya, Tuan.”

“Siapa kamu?”
Watung, Tuan.

“Apakah itu namamu?”
Benar, Tuan.

“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”
Ehm, saya anak lurah, Tuan (dengan wajah yang mulai plonga-plongo)

“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.”
Saya seorang engineer, Tuan.

“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya: siapa kamu?”

Sambil masih plonga-plongo karena nggak tahu mau menjawab apa, akhirnya ditemukanlah jawaban yang rada agamis sedikit:

Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.

“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.”
Saya ini manusia, Tuan. Saya setiap Jumat pergi jumatan ke masjid dan saya pernah kasih sedekah. Setiap lebaran, saya juga puasa dan bayar zakat.

“Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.”

Akhirnya orang ini pergi melengos keluar, dengan wajah yang masih plonga-plongo. Dia gagal di pintu pertama, terjegal justru oleh sebuah pertanyaan yang sungguh sederhana: siapa dirinya yang sebenarnya.
* * *

Nggak mudah, tho? Coba pikir, kita nggak paham siapa kita, maka kita punya tradisi besar mengasosiasikan sesuatu terhadap diri kita: nama, profesi, titel, jenis kelamin, warna kulit dan rambut, foto wajah (seperti yang di KTP, our identification!). Kita melabeli diri kita dengan sesuatu itu, kita pun nyaman dengan label itu, lalu merasa bahwa label itulah diri kita. Think again: apakah aku = tubuhku?

Ah, Watung, itu cuma permainan kata!

Mungkin saja. Tapi perhatikanlah kalimat orang-orang agung itu: “barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”

Knowing others is wisdom
Knowing the self is enlightenment.
Mastering others requires force
Mastering the self requires strength.- Tao Te Ching

Does it make you wonder, my dear?

P.S.: Kisah di atas saya adaptasi secara tidak beradab serta sangat kurang ajar dari sebuah buku, Doa Sang Katak, karya Anthony De Mello.


gambar dari sini

Makna Hidup

komentar: 1

"Hidup bukanlah perlombaan, siapa yang lebih dulu dan siapa yang menang.
Hidup adalah menanam bunga; menyiram dan memupuk kesabaran, agar berbunga keindahan yang dapat dinikmati oleh siapapun".

::.foto oleh jk10976

panggilanMu

komentar

Dia memanggil
Selalu memanggil
Agar datang ke pelukanNya
Maha ibu yang memberi hangat

Dan aku anak bodoh di kubangan
Enggan datang pada kehangatan
Aku terus bermain hujan
Dan aku menangis
karena terus menikmati dingin dan basah badan

Ibu, aku bodoh ya aku bodoh
Badanku terlalu menikmati basah meski kedinginan

Ibu, mungkin badanku telah kaku
Tak dapat lepas dari hujan
Meski petir menyambar
Kakiku selalu ragu melangkah padaMu

Maafkan aku Ibu
Mohon selalu panggillah aku
Hingga aku datang padaMu

Jepara310309

gambar dari sini

...

komentar

Allahku
maaf atas tak terimakasihku
bodohku akan cinta-Mu
cinta-Mu adalah garam di lautan
dan aku ikan yang berenang
bodohku bukan tak sadari cinta-Mu
hanya terlalu terbiasa berenang di dalamnya
sedang jika tubuh dan hidup menguap lenyap
yang tinggal hanya garam cinta-Mu

Saif,260708

pernah saya post juga di sini
gambar dari sini

Nafas

komentar: 1

beri aku tetes rasamu
aku ingin membenam selamanya di dalam
biar hilang segala nafas udara
berganti basahnya nafas cinta

oh, nafasku telah kering merekas panas
hilang air kerontang
sesak aku menanggung nafas

oh kekasih
tlah kulihat kasihmu
kulihat danaumu
tapi aku terbakar dalam nafasku

tak dapat ku keluar dari nafas
maka doronglah aku masuk dalam danaumu
biar ku tak mengerti hakikat dalamnya
asal hilang nafas ku kan mangerti
danaumu adalah kehidupan

tenggelam, tenggelamkan aku
membenam seluruh dan tak melihat udara lagi
selamanya danaumu adalah kesejukan
sedang nafasku adalah panasnya badan

saya posting juga di sini

Kebaikan & Kejahatan

komentar: 2


Pejuang itu akan menyerah. Katanya, “Bukankah Tuhan telah berlaku tidak adil pada manusia? Ia menyuruh kita berbuat dan berjuang untuk menjadikan dunia ini baik, tapi Ia tak pernah menjadikan dunia ini baik. Sejak kapanpun dan mungkin sampai kapanpun, akan selalu ada kejahatan. Lalu untuk apa kita memperjuangkan kebaikan? Bukankah dunia memang selalu begitu? Jahat dan kejam”.

Aku tidak mengerti tentang semua hal itu, hanya aku tahu bahwa Pejuang itu adalah orang yang baik. Karena itu aku berharap semoga dunia dipenuhi orang-orang seperti dia, dan dunia akan menjadi tempat yang damai dan indah tanpa kejahatan.

Tapi bagaimana nanti jika ada orang yang ingin berjuang untuk kebaikan seperti dirinya? Menjadi baik seperti dirinya? Apa yang harus dia lakukan jika tak ada kejahatan? Apa yang harus dia perjuangkan?

Pejuang itu menjadi orang baik, karena dia memperjuangkan kebaikan. Jika semuanya baik maka tak ada yang perlu diperjuangkan, lalu siapa yang akan menjadi baik? Tidak ada?

Lalu apa arti semua ini, jika kejahatan harus ada agar terlahir kebaikan?
Apa yang diinginkan Tuhan? Apakah sebagian manusia harus menjadi jahat dan sebagian lain harus menjadi baik? Haruskah selalu seperti itu? Bukankah berarti usaha apapun untuk membuat seluruh dunia menjadi baik adalah kegagalan belaka?

Tidak. Tidak, benarkah? Karena Tuhan tidak menuntutmu apapun, Ia hanya menyuruhmu berusaha, dan usahamu itulah kebaikan yang sesungguhnya.

Bukankah demikian? Karena hal itulah yang menjadi kelebihan manusia dari binatang; mampu memilih dan memperjuangkan kebaikan. Tanpa itu malaikat tak perlu bersujud pada manusia. Dan agar kalian selalu berusaha, kejahatan itu harus selalu ada bukan.

Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

::.gambar 1 oleh Theago Leon
::.gambar 2 dari sini

Penjahat Itu Lebih Baik Dariku

komentar

Lihatlah orang yang kalian anggap bejat itu!
terlahir di tempat bejat
dibesarkan dengan cara bejat
dia menjadi bejat,
kata kalian.

Lihat orang jahat itu!
dia lahir di tempat jahat
dibesarkan dengan jahat
dia menjadi jahat,
kata kalian.

Tapi mereka lebih baik dariku
mereka berusaha menjadi baik,
tersiksa oleh keburukan mereka.

Aku baik, katamu
terlahir di tempat baik
dibesarkan dengan cara baik
aku baik, menurutmu.

Hanya ada dua pilihan menilai diri
aku ini orang buruk yang merasa buruk
ataukah orang baik yang merasa baik
adalah pemisah kesombongan.

Tuhan ...
apakah aku bangga dengan diriku?
ampuni aku
Aku lebih buruk dari mereka.


gambar dari sini

Mereka Bilang "Ahirat Tidak Ada"

komentar

Ini kisah tentang San yang sejak bayi hanyut di laut dan terdampar di sebuah pulau. Di pulau itu ia ditolong oleh sekelompok orang, sayangnya semua perempuan di pulau itu telah mati jadi San dirawat oleh salah seorang laki-laki yang baik.

Setelah bertahun-tahun, San kecil tumbuh menjadi lelaki dewasa.. Dahulu sering orang-orang disekitarnya mengajarinya segala sesuatu yang perlu dipelajarinya untuk bertahan hidup tapi sekarang tidak lagi karena para lelaki yang dulu merawatnya telah mati. Jadi ia sekarang mempelajari apapun sendirian dengan kemampuannya sendiri.

Suatu hari sebuah perahu menepi di pulau itu, penumpangnya seorang lelaki yang lalu turun dari perahu dan bertemu dengan San. Mereka kemudian bercakap-cakap untuk lebih mengenal satu sama lain.

Orang dari perahu merasa kasihan melihat San, ia pikir San telah cukup dewasa dan semestinya segera menikah. Tapi sayang di pulau itu tidak ada orang lain selain San sendiri jadi Orang perahu mencoba membujuk San untuk ikut dengannya dengan menceritakan tempat tinggalnya di pulau lain yang sangat indah, dengan gedung-gedung tinggi yang megah dan nyaman.

Apakah San percaya dengan cerita tentang gedung-gedung megah dan nyaman di tempat jauh itu? Ternyata tidak.

Selama hidupnya San bertempat tinggal di bawah pohon, dan orang-orang yang merawatnya di pulau itu pun demikian. Ia bahkan tidak yakin tentang pulau yang jauh lebih besar di seberang laut itu.

Tapi Orang perahu tidak menyerah, karena ia ingin menolong San. Maka diceritakanlah maksud Orang perahu itu sebenarnya, menurutnya seorang lelaki dewasa seharusnya menikah untuk melanjutkan keturunannya. Dan dengan ikut dengan Orang perahu itu ia akan mendapatkannya, ia akan menjadi seorang manusia yang beradab.

Tapi lagi-lagi San tidak bisa mempercayainya, ia bahkan tidak percaya tentang adanya perempuan. San bahkan marah sekali saat Orang perahu itu menceritakan tentang kelahiran manusia seperti dirinya, “Sungguh kau ini benar-benar orang gila,” kata San “mana mungkin aku dulu hidup di dalam perut manusia lain? Apa aku tadinya ditelannya lalu masuk ke dalam perutnya lalu keluar lagi utuh seperti ini. Sungguh tidak masuk akal”.




San menarik tangan Orang perahu ke sebuah tempat dan berkata, “lihatlah” kata San, “seperti inilah jadinya jika aku hidup di dalam perut manusia lain, akan jadi seperti ini” kata San sambil menunjuk liang kotoran. “Dasar sinting, bicara yang tidak-tidak”. San lalu pergi meninggalkan Orang perahu begitu saja.

Dalam cerita tadi, San yang lugu dengan akalnya menolak berita Orang perahu, bahwa dirinya dahulunya hidup di dalam kandungan. San tidak mempercayainya karena selama hidupnya ia tidak pernah menyaksikan kelahiran, bahkan tidak pernah mengetahui keberadaan perempuan. Baginya berita seperti itu pastilah bohong dan mengada-ada. Dahulu orang-orang yang merawatnya kadang bercerita tentang mahluk yang disebut perempuan, tapi itu semua hanyalah mitos dan dongeng orang-orang tua dahulu. Dirinya yang lebih cerdas pastinya tidak bisa mempercayainya.

San juga menolak berita tentang adanya tempat jauh dengan gedung-gedung megah dan tinggi yang terasa nyaman di dalamnya. Sepanjang yang dipelajarinya, tempat paling nyaman adalah di bawah pohon yang teduh. Di tempat terbuka akan kepanasan, di dekat sungai akan basah dan lain sebagainya alasan semacam itu. Itulah yang diketahuinya, dan mana mungkin seseorang bisa membuat sesuatu yang sangat tinggi seperti yang diceritakan Orang perahu? Apalagi bisa ditempati banyak orang. Menurut akal sehat San, pastilah tidak mungkin. Orang perahu itu telah membuat cerita dusta dan berharap dirinya akan percaya, untungnya dirinya seorang yang cerdas sehingga dia tidak akan percaya. Dan dirinya bahagia sekali telah bisa menunjukkan kesalahan Orang perahu itu dengan baik dan lugas. Dirinya memang cerdas 

Bagaimana dengan kita, seandainya dalam keadaan yang sama seperti San apakah kita juga akan bersikap sama?
Lihatlah San, bagaimana seandainya ia diberitahu tentang kehidupan setelah mati (kehidupan yang belum dijalani)? Pasti ia tidak akan percaya sedangkan kehidupan yang pernah dijalaninya saja dia tidak bisa mempercayainya (kehidupan di dalam rahim ibu).

Dalam norma pengetahuan masa kini, sesuatu dapat dipercaya setelah dapat dibuktikan dengan akal dan panca indera sehingga untuk mendapatkan pengetahuan kita harus terlebih dulu meragukan segala hal (filsafat: red). Lalu bagaimana dengan akal dan panca indera itu sendiri, tidakkah seharusnya perlu kita ragukan juga?

Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

asal gambar alaska
tree alone

Kebodohan dan Kesombongan

komentar

Sebuah ungkapan mengatakan, “Tidak ada yang tidak diketahui oleh orang bodoh”. Sekilas bermakna pertentangan, akan tetapi mungkin itulah ungkapan yang paling tepat.

Kebodohan adalah sebuah dinding yang melingkupi seluruh sisi, menutupi pandangan di segala arah. Begitulah keadaan orang bodoh, pandangannya tertutup dari pengetahuan di luar dinding yang melingkupinya, karena itu ia merasa mengetahui segalanya justru karena ia tidak mengetahui apapun. Karenanya kebodohan adalah kesombongan.

Orang yang tidak berpengetahuan akan merasa mengetahui segalanya; kesombongan. Orang yang sombong akan merasa dirinya paling berpengetahuan, karena ia tidak mengetahui bahwa setiap sesuatu memiliki pengetahuannya sendiri; kebodohan. Itulah kesombongan yang sama juga berarti kebodohan tadi.

Dalam ungkapan lain, “Seperti katak dalam tempurung” begitulah keadaan keduanya, merasa telah melihat dan menguasai segalanya. Yang sebenarnya, justru kemampuannyalah yang sangat terbatas untuk memahami bahwa diatas segala pengetahuan dan kebesaran ada ke-Mahatahu-an dan ke-Mahabesar-an.

Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Cogito Ergo Sum

komentar

Katanya, segala hal yang kita anggap nyata, (artinya terraba oleh indera kita) adalah hanya sebuah gelombang energi dengan frekuensi berbeda-beda yang tertangkap oleh indera kita. Sebuah tongkat lurus nampak oleh mata kita, karena ia memantulkan gelombang energi dengan frekuensi tertentu yang ditangkap oleh mata kita kemudian dipersepsikan oleh otak sebagai sesuatu benda kecil lurus dan panjang. Sesuatu itu adalah benda, lalu kita sebut; nyata.

Lalu aku teringat pelajaran biologi di MTs (setingkat SMP), bahwa mata seekor belalang memiliki kapasitas penglihatan yang lebih rendah dari mata manusia. Ia (maksudnya si belalang) melihat sebuah tongkat sebagai jajaran segi enam, melihat manusia sebagai jajaran segienam yang lebih banyak dan lebih luas. Jadi mungkin jika belalang bisa berpikir dan bicara, maka kita akan berdebat dan berbantah dengan mereka mengenai tongkat itu :D.

Kemudian yang kupikirkan adalah, kita menganggap hasil penglihatan belalang itu adalah sebuah kekeliruan. Lalu kita berkata, “Kamu telah tertipu oleh pandangan matamu, dunia ini sesungguhnya jauh lebih detail dan lebih indah dari yang kau tahu”. Apakah si belalang akan percaya? Pasti (mungkin) tidak, karena seumur hidupnya bahkan belalang-belalang lainnya di seluruh dunia melihat dunia memang demikian adanya; segi enam yang berbaris. Belalang berkata, “Secara rasional hal itu tidaklah mungkin kawan”. Begitulah, belalang akan ngotot pada pengetahuannya.

Kita pun tersenyum melihat keteguhan belalang pada pengetahuannya yang keliru itu :). Nah, bagaimana jika ternyata belalang itu adalah kita, lalu datang sebuah pengetahuan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, bahkan secara rasional kita anggap tidak mungkin. APAKAH KITA JUGA AKAN BERSIKAP SEPERTI BELALANG ITU?


Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

::.foto oleh Hantulaut

hidup adalah

komentar


Hidup bukanlah perlombaan, siapa yang lebih dulu dan siapa yang menang.
Hidup adalah menanam bunga; menyiram dan memupuk kesabaran, agar berbunga keindahan yang dapat dinikmati oleh siapapun.

gambar dari sini

Kakek dan Kisah Itu

komentar


"Malam sunyi adalah bentuk lain keramaian alam. Ketika angin berbisik, pohon-pohon bercerita dan embun menyapa. Semua berkisah dengan keluguan bahasa, tanpa kemunafikan kata-kata".

Itulah bait syair yang dulu sering terdengar setiap malam di bawah langit.

Rembulan selalu setia. Hanya saja wajahnya telah pucat melewati banyak malam dengan kesedihan. Ia tetap bertahan karena seorang kawannya membutuhkan cahaya untuk bepergian melaksanakan pengembaraannya. Dan malam ini kawan itu datang padaku. Seorang renta yang wajahnya telah di penuhi guratan zaman.

“dengarkanlah kisah ini jika engkau mau” katanya padaku. Sementara aku diam karena kepengecutan diriku. Kupandangi wajahnya yang teduh bagai laut. Aku menunggu. Tapi dia tak mengatakan apapun. Aku mulai bingung.

“apa yang ingin kau ceritakan? Katakanlah” ahirnya keberanianku muncul. Dan ia tersenyum menatap mataku yang melihat matanya.

Lalu tiba-tiba dia melangkah pelan meninggalkan aku sendiri yang bersandar pada kebingungan pikiran di kepalaku.

Hanya satu malam itu, dan kakek itu tak pernah datang lagi. Tapi sungguh aku sangat mengingat wajahnya dan tiba-tiba saja aku mulai mengerti gurat-gurat di pipinya, lalu di matanya, di dahinya. Wajahya seperti lukisan yang bercerita melalui coretan-coretan usia di wajahnya .

Dan aku tahu salah satu kisah itu….

Tentang Jangkrik yang kekasihnya pergi meninggalkan dirinya melewati banyak malam.

Suara kodok yang melantunkan puisi. Puisi cinta tentang air, udara, pohon-pohon dan gadis muda yang di temuinya setiap malam di tepi kolam.

Mereka bahagia dahulu.

Hingga malam itu, angin melintas gusar tak menyapa. Karena pohon-pohon telah tumbang dan kekasih sang jangkrik telah mati. Gadis muda pun kini tak lagi datang ke tepi kolam, karena telah menanggalkan bajunya dan terjun kedalam gelombang hingar peradaban.

Kodok sedih, jangkrik pun sedih.

Embun kini tak sedingin dulu, ia telah menjadi sepanas air mata. Tak ada lagi gemeresak ranting dan dahan pohon yang bernyanyi. Liang-liang tanah kini kering tanpa kisah. Kolam telah di aliri ratapan air mata karena sang kodok pergi mencari sang gadis pujaan hati, kini juga telah mati tergilas roda peradaban yang menggelinding di suatu malam menuju kota.

Lalu seorang gadis muda yang ditemukan Kakek itu dulu, di tepi pantai sebuah pulau yang akan tenggelam. Gadis muda bergaun putih dengan sebentuk warna merah di dadanya. Ia sendiri, tak ada tangan bersedia menolongnya. Dan kakek itu menolongnya menjauhi badai. "kenapa kau menolongku, bukankah kekayaanpun tak mampu menolongku karena kapalnya telah penuh oleh harta. Sedangkan engkau hanya seorang renta. Siapakah engkau?" kakek itu tersenyum, lalu pergi tanpa mengucap apapun.

Dan gadis itu, kini telah mati di dekat serimbun bunga yang kini mulai layu. Rumput-rumput juga mengering coklat dan langit tampak tak lagi biru. Tanah berubah, berkilau seindah emas namun tak ada lagi jangkrik yang menyanyikan lagu rindu, tak ada lagi katak yang menggubah puisi cinta, atau belalang yang terbang rendah memainkan permainan ceria padang.

Aku termenung, adakah kakek itu yang bercerita padaku? Dengan suatu cara yang hanya diketahuinya, meskipun nampaknya ia tak berkata.

Hingga Sepuh malam merambati fajar di puncak Muria, aku duduk menunggu sang kakek yang kuharap akan kembali. Di ujung timur, siluet alam mengawali dunia. Saat sinar pertama menapak bumi, aku tersadar menatap tanahku yang mulai mengering, Pohon-pohon merapuh dan rumput merana terinjak sekarat.

“di sini akan di bangun kesejahteraan” kata seseorang yang ternyata adalah sang kakek, “dan akan di bangun mercusuar yang tinggi” Benarkah? “mungkin sangat tinggi hingga akan melubangi langit dan menjatuhkan kemarahannya”.

Kenapa kau berkata seperti itu? Aku bertanya padanya.
“jangan tanyakan kenapa aku mengatakannya, tanyakan kenapa aku harus mengatakannya”.

Mengapa engkau mengatakannya?

“lihatlah dirimu dan kau akan tahu” lalu seperti sebelumnya, ia pergi begitu saja meninggalkan aku dalam kebingungan pikiranku.

Dan seperti tadi malam, aku pun lalu seolah mendapat sebuah kisah.

Tentang sebuah teknologi untuk menciptakan gunung berapi. Meskipun sudah ratusan tahun tidak aktif, sebuah gunung bisa memuntahkan lahar panas lagi. Bahkan lebih panas karena perutnya akan di isi dengan segala macam keserakahan.

Teman sang jangkrik yang merana datang dan berkata, “muria akan di aktifkan kembali, mengapa hal itu bisa terjadi?”
“mungkin mereka membutuhkan lahar panasnya untuk mengolah tanah menjadi emas, dan melebur batu kali menjadi intan” jawab tikus sawah.

Tiba-tiba aku tersadar, sekelilingku mulai gelap. mungkin bumi telah demikian renta dan lelah menggendong anak-anaknya yang serakah di punggungnya.

Dan sore itu seekor belalang muda yang baru datang dari jauh berkata, “jauh aku menempuh perjalanan mencari tanah yang dulu selalu didongengkan kakekku akan tanah leluhur yang permai. Tanah yang menjadi impian sadar dan mimpi tidur. Tanah berumput teduh kini tiada, hanya gundukan tanah hitam dan kehidupan kering”, belalang muda menangis. “oh beruntunglah saudaraku meninggal di tanah yang jauh, agar ia tidak melihat betapa dongeng tanah leluhurnya kini telah tiada”.

***

Oh langit begitu cepat berubah senja, di timur mulai gelap namun tanpa bintang yang dulu lagi.

Dan tiba-tiba aku tersadar lagi. Kakek itu adakah ia sang waktu?

Jeparakamarku
cerpen ini saya upload juga di sini

Sebuah Kata

komentar: 1


Mulanya hanyalah sebuah kata dan satu kata itu begitu indah, menjadikan sesuatu menjadi lebih nyata di pikiranmu bahkan saat sesuatu itu tak ada di depanmu. Lalu ia pun mencari kata lain, yang cocok untuk sesuatu yang lain. Tujuannya sama; agar semakin banyak hal indah menjadi lebih indah, agar banyak hal dapat dibawa oleh pikiran dan diberikan pada yang lain untuk bersama menikmati keindahan.

Mungkin demikianlah dimulainya sebuah bahasa, menjadikan keindahan menjadi lebih nyata meski tak ada di depanmu. Menjadikan sesuatu dapat diyakini meskipun jauh tak terlihat. Dari sini, bukankah bahasa adalah penemuan yang teramat indah? Yang sepenuhnya digunakah untuk menyatakan keindahan dan tujuan-tujuan yang indah, maka mengapakah kita harus menggunakannya untuk tujuan yang lain?

Karena itu, mari kita katakan dengan indah agar keindahan menjadi lebih indah, dan kata-kata itupun menjadi sebuah keindahan.
Hanya Tuhan yang Maha Tahu).