Kakek dan Kisah Itu

Rabu, 01 April 2009 komentar


"Malam sunyi adalah bentuk lain keramaian alam. Ketika angin berbisik, pohon-pohon bercerita dan embun menyapa. Semua berkisah dengan keluguan bahasa, tanpa kemunafikan kata-kata".

Itulah bait syair yang dulu sering terdengar setiap malam di bawah langit.

Rembulan selalu setia. Hanya saja wajahnya telah pucat melewati banyak malam dengan kesedihan. Ia tetap bertahan karena seorang kawannya membutuhkan cahaya untuk bepergian melaksanakan pengembaraannya. Dan malam ini kawan itu datang padaku. Seorang renta yang wajahnya telah di penuhi guratan zaman.

“dengarkanlah kisah ini jika engkau mau” katanya padaku. Sementara aku diam karena kepengecutan diriku. Kupandangi wajahnya yang teduh bagai laut. Aku menunggu. Tapi dia tak mengatakan apapun. Aku mulai bingung.

“apa yang ingin kau ceritakan? Katakanlah” ahirnya keberanianku muncul. Dan ia tersenyum menatap mataku yang melihat matanya.

Lalu tiba-tiba dia melangkah pelan meninggalkan aku sendiri yang bersandar pada kebingungan pikiran di kepalaku.

Hanya satu malam itu, dan kakek itu tak pernah datang lagi. Tapi sungguh aku sangat mengingat wajahnya dan tiba-tiba saja aku mulai mengerti gurat-gurat di pipinya, lalu di matanya, di dahinya. Wajahya seperti lukisan yang bercerita melalui coretan-coretan usia di wajahnya .

Dan aku tahu salah satu kisah itu….

Tentang Jangkrik yang kekasihnya pergi meninggalkan dirinya melewati banyak malam.

Suara kodok yang melantunkan puisi. Puisi cinta tentang air, udara, pohon-pohon dan gadis muda yang di temuinya setiap malam di tepi kolam.

Mereka bahagia dahulu.

Hingga malam itu, angin melintas gusar tak menyapa. Karena pohon-pohon telah tumbang dan kekasih sang jangkrik telah mati. Gadis muda pun kini tak lagi datang ke tepi kolam, karena telah menanggalkan bajunya dan terjun kedalam gelombang hingar peradaban.

Kodok sedih, jangkrik pun sedih.

Embun kini tak sedingin dulu, ia telah menjadi sepanas air mata. Tak ada lagi gemeresak ranting dan dahan pohon yang bernyanyi. Liang-liang tanah kini kering tanpa kisah. Kolam telah di aliri ratapan air mata karena sang kodok pergi mencari sang gadis pujaan hati, kini juga telah mati tergilas roda peradaban yang menggelinding di suatu malam menuju kota.

Lalu seorang gadis muda yang ditemukan Kakek itu dulu, di tepi pantai sebuah pulau yang akan tenggelam. Gadis muda bergaun putih dengan sebentuk warna merah di dadanya. Ia sendiri, tak ada tangan bersedia menolongnya. Dan kakek itu menolongnya menjauhi badai. "kenapa kau menolongku, bukankah kekayaanpun tak mampu menolongku karena kapalnya telah penuh oleh harta. Sedangkan engkau hanya seorang renta. Siapakah engkau?" kakek itu tersenyum, lalu pergi tanpa mengucap apapun.

Dan gadis itu, kini telah mati di dekat serimbun bunga yang kini mulai layu. Rumput-rumput juga mengering coklat dan langit tampak tak lagi biru. Tanah berubah, berkilau seindah emas namun tak ada lagi jangkrik yang menyanyikan lagu rindu, tak ada lagi katak yang menggubah puisi cinta, atau belalang yang terbang rendah memainkan permainan ceria padang.

Aku termenung, adakah kakek itu yang bercerita padaku? Dengan suatu cara yang hanya diketahuinya, meskipun nampaknya ia tak berkata.

Hingga Sepuh malam merambati fajar di puncak Muria, aku duduk menunggu sang kakek yang kuharap akan kembali. Di ujung timur, siluet alam mengawali dunia. Saat sinar pertama menapak bumi, aku tersadar menatap tanahku yang mulai mengering, Pohon-pohon merapuh dan rumput merana terinjak sekarat.

“di sini akan di bangun kesejahteraan” kata seseorang yang ternyata adalah sang kakek, “dan akan di bangun mercusuar yang tinggi” Benarkah? “mungkin sangat tinggi hingga akan melubangi langit dan menjatuhkan kemarahannya”.

Kenapa kau berkata seperti itu? Aku bertanya padanya.
“jangan tanyakan kenapa aku mengatakannya, tanyakan kenapa aku harus mengatakannya”.

Mengapa engkau mengatakannya?

“lihatlah dirimu dan kau akan tahu” lalu seperti sebelumnya, ia pergi begitu saja meninggalkan aku dalam kebingungan pikiranku.

Dan seperti tadi malam, aku pun lalu seolah mendapat sebuah kisah.

Tentang sebuah teknologi untuk menciptakan gunung berapi. Meskipun sudah ratusan tahun tidak aktif, sebuah gunung bisa memuntahkan lahar panas lagi. Bahkan lebih panas karena perutnya akan di isi dengan segala macam keserakahan.

Teman sang jangkrik yang merana datang dan berkata, “muria akan di aktifkan kembali, mengapa hal itu bisa terjadi?”
“mungkin mereka membutuhkan lahar panasnya untuk mengolah tanah menjadi emas, dan melebur batu kali menjadi intan” jawab tikus sawah.

Tiba-tiba aku tersadar, sekelilingku mulai gelap. mungkin bumi telah demikian renta dan lelah menggendong anak-anaknya yang serakah di punggungnya.

Dan sore itu seekor belalang muda yang baru datang dari jauh berkata, “jauh aku menempuh perjalanan mencari tanah yang dulu selalu didongengkan kakekku akan tanah leluhur yang permai. Tanah yang menjadi impian sadar dan mimpi tidur. Tanah berumput teduh kini tiada, hanya gundukan tanah hitam dan kehidupan kering”, belalang muda menangis. “oh beruntunglah saudaraku meninggal di tanah yang jauh, agar ia tidak melihat betapa dongeng tanah leluhurnya kini telah tiada”.

***

Oh langit begitu cepat berubah senja, di timur mulai gelap namun tanpa bintang yang dulu lagi.

Dan tiba-tiba aku tersadar lagi. Kakek itu adakah ia sang waktu?

Jeparakamarku
cerpen ini saya upload juga di sini

komentar

Posting Komentar